Sumber Daya Minyak Sebagai Kekuatan
Oleh
;
Andi Lala
Ketua
Bidang Hukum dan Lingkungan Hidup (HMI Badko Jabotabeka-Banten periode
2011-2013)
Kenaikan
BBM (Bahan Bakar Minyak) bukan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia,
melainkan Indonesia yang dalam hal ini pemerintah sudah memetik pengalaman
sejak dari awal pemerintahan Orde Baru yang dikenal dengan periode Kepemimpinan
Jendral Soeharto. Awal terbentuknya pemerintahan Soeharto merupakan sisa yang
ditinggalkan Soekarno dengan Demokrasi terpimpinnya. Pemerintah baru di bawah
soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang nyaris ambruk. Utang luar negeri
berjumlah US$ 2,400 juta, dengan laju inflasi mencapai 20-30% sebulan,
infrastruktur berantakan, kapasitas produksi sektor industri dan ekspor
merosot, dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak jalan
lagi. Pemulihan ekonomi secepatnya menjadi target yang harus dicapai melalui
pembangunan. Langkah Nasionalisasi perusahaan-perusahaan negara yang sebelumnya
dimiliki pengusaha asing menjadi salah satu solusi bagi kebijakan pemerintah
untuk menuju perekonomian yang stabil.
Pada
masa itu pemerintahan soeharto yang baru tersebut mendapat sumbangan pemikiran
yang sangat berarti dalam menuju perekonomian yang stabil dari beberapa
ahli-ahli ekonomi seperti Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana,
Emil Salim, Mohammad sadli, dan Subroto untuk mempercepat program pemulihan
ekonomi. Selain memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Dalam
Negeri, pemerintah juga menciptakan iklim investasi yang menguntungkan.
Pada
akhir tahun 1974 terjadi lonjakan harga minyak dunia sehingga minyak menjadi
modal dasar yang menarik minat investor asing. Lonjakan harga minyak atau yang
dikenal dengan istilah Boom minyak tersebut mampu mengatasi cash flow negara
dengan cepat. Kesepakatan antara Ibnu Sutowo sebagai pemimpin perusahaan minyak
dengan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Presiden mampu membuat negara
tidak lagi bergantung pada modal swasta dan memiliki wewenang besar dalam
menentukan arah pembangunan.
Pada
pertengahan tahun 1980-an harga minyak kembali turun sedang disisi lain
perekonomian harus terus meningkat, dalam kondisi genting ini kebijakan
pemerintah mengambil tindakan alternatif dengan mengganti ekspor minyak dengan
ekspor barang-barang manufaktur. Kendati demikian, Indonesia masih menjadi
negara dengan income yang rendah per-kapita bila dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi sepanjang
kepemimpinan Soeharto tidak mencapai peringkat yang memuaskan namun dapat
dibuktikan dengan menyumbangkan peran yang besar untuk stabilitas ekonomi bagi
masyarakat Indonesia pada masa itu.
Pengalaman
yang panjang terjadi pada awal Orde Baru dengan berbagai kemelut yang ada dalam
sisi politik ekonomi tersebut seharusnya menjadi pembelajaran yang sangat
berarti bagi pemerintahan sekarang dalam menyikapi lonjakan harga minyak dunia
dan mempertahankan kestabilan atau peningkatan ekonomi tingkat nasional.
Dua
periode pemilihan pemimin negara (Presiden) Indonesia yang dimenangkan oleh SBY
melalui Pemilu langsung, harus diakui bahwa rezim ini adalah generasi penerus
atau pewaris dari rezim-rezim yang sebelumnya dimana kondisi ekonomi politik
yang resisten. Lemahnya jiwa nasionalisme para pengusaha yang terlena dengan kemudahan
dan kedekatan mereka dengan penguasa menjadi peluang untuk memperkaya diri
pribadi maupun kelompok tanpa mempertimbangkan persoalan kekuatan negara dan
lembaga-lembaganya dalam mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang kita cintai.
Hamper satu setengah periode sudah
SBY memimpin Negara RI, serta telah terjadi beberapa kali kenaikan harga BBM
yang diusulkan oleh pemerintah yaitu pertama kali di awal beliau menjabat
kenaikan BBM terjadi pada tahun 2005, 2007 dan sekarang terjadi lagi pada 2012
dimana pemerintah Negara mengusulkan kenaikkan BBM melalui kesepakatan dalam
Undang-undang APBN-P ke DPR, tentu saja partai utama yang mendorong SBY menjadi
presiden yang bersikukuh dalam forum DPR-RI tentang kenaikan tersebut.
Dari rangkaian kenaikan BBM yang terjadi di
awal sampai hari ini, tentu saja kenaikan BBM tersebut sangat mungkin dalam
arti BBM Bisa naik dan bisa juga diturunkan sesuai dengan kenginginan para
pemerinntah dan wakil rakyat yang berada di DPR. Namun bila dipandang dari sisi
inflasi, BBM tersebut sangat kecil kemungkinannya untuk turun namun kenaikan
itu hanya persoalan waktu. Sebagai mahasiswa saya tidak mempersoalkan
upaya-upaya kenaikan Harga BBM namun pemerintah dan wakil rakyat harus juga
mempertimbangkan Realitas tingkat kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam hal
menurun atau menaikkan harga BBM. Kenapa Harga BBM menjadi sebuah perhatian
yang serius? Tentu saja akan menarik perhatian banyak orang bila berkenaan
dengan isu kenaikan BBM karena kenaikan harga BBM sangat mempengaruhi
harga-harga barang yang lainnya. Setelah perhelatan yang dahsyat dalam forum
pembahasan DPR, kali ini di sekitar gedung DPR pun turut mengalami kejadian-kejadian
yang tragis, sebagai bentuk protes massa dari kalangan Mahasiswa dan masyarakat
dalam demontrasi mereka ke DPR.
Antara polisi dan massa yang berunjuk rasa di
gedung DPR-MPR RI turut mencekam akibat terjadi beberapa bentrokan, masing-masing
adu kekuatan antara naik dan
tidaknya harga bahan bakar minyak dalam hal ini premium dari harga Rp. 4.500 /
liter menjadi sekitar Rp. 6000 / liter yang di usulkan oleh pemerintah. Pertanyaan
lebih lanjut buat kita, mengapa BBM selalu menjadi menjadi hal utama yang harus
dinaikkan bila kondisi Negara sedikit tersendat? Padahal kekayaan Indonesia bukan
hanya terletak di bahan bakar minyak, namun juga mencakup Gas, Batu-bara, serta
wilayah Indonesia dikaruniahi lahan-lahan perkebunan yang subur dan luas, yang
seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah untuk di ekspor keluar negeri
sebagai tambahan dari pendapatan Negara.
Inilah yang membedakan rezim pak Harto yang
kemarin kita anggap tidak becus mengurus Negara ini dengan para pemimpin
setelah beliau. Kita bisa merasakan adanya perhatian yang serius terhadap sector
pertanian pada masa kepemimpinan pak Harto yang dikenal dengan Repelita I dan
berakhir pada Revelita VII. Sedang sekarang meski kebebasan berpendapat dan
bersuara dibuka selebar-lebarnya namun pada kenyataannya membuktikan bahwa
suara para petani dan kaum miskin berada pada peringkat akhir untuk didengarkan
oleh para pemerintah dan pemimpin negeri ini. Apa bedanya dengan zaman
penjajahan belanda bila para konglomerat dan pemilik modal yang menjadi
prioritas utama untuk didengarkan oleh para pemerintah. Bukankah di zaman
penjajahan belanda juga demikian? Yaitu para raja-raja yang berkuasa di wilayah
Indonesia diberikan perhatian khusus oleh pemerintah belanda agar mau tunduk
padanya dan ikut peraturannya untuk memaksa rakyat kecil bekerja keras dengan
imbalan yang tidak setimpal. Pertanyaan ini hanya ada sendiri sebagai seorang pembaca
yang budiman bisa mempertimbangkan dan mengutarakan jawaban dan alasannya
masing-masing.