Ide perubahan tidak cukup dengan hayalan. Jika hayalan adalah mimpi, maka mimpi adalah bunga tidur di waktu malam, dikala bulan bersinar terang, bintang-bintang berkedip malu.
Rasa malu adalah manusiawi sebagai manusia yang punya ide tentang
sebuah perubahan, dari keterpurukan menjadi keleluasaan, dari penindasan
menujuh kebebasan, dan dari kesusahan berubah menjadi ketenangan, kedamaian
serta keindahan, sambil menikmati hidup hingga ajal menjemput.
Coba lihat diri mu terlebih dahulu, sebelum bicara tentang
membebaskan orang lain...!!
Bukan manusia seutuhnya tanpa melihat diri. Bahkan Tuhan pun memerintahkan kita, bila ingin mengenal-Nya, maka kenalilah diri mu”. Mengenal diri seolah kita mengenal tuhan, bagaimana itu..?,
tentu gampang saja
kita simpulkan, bila kita kenali diri kita sebagai orang yang jahat, maka
itulah tuhan mu yang berarti jahat.
Sebaliknya bila kita mengenal diri kita sebagai orang yang baik,
mungkin itulah cermin tuhan mu. Maka dapat kita tarik kesimpulannya mengapa
tuhan menyarankan kita untuk mengenal diri kita sendiri, paling tidak sebagai
lasannya adalah kita tidak bisa bohong pada diri kita sendiri, hati nurani.
Nurani, bukan “Nur-Anil” (bapaknya saudaraku)..!
nurani
inilah yang sering bergejolak saat kita pernah dipaksakan orang lain untuk
sebuah ketentuan pilihan. Orang menyatakan isi hati nuraninya dengan berbagai
cara serta alasan misalnya, aah ini prinsip..! atau kita katakan “tidak bisa,
inilah aku”.
Apapun
alasannya, atau apapun kata-katanya untuk mengungkapkan isi hati nurani itu
yang pastinya ia menunjukkan eksistensi diri kita yang berbeda dengan orang
lain. Mungkin tuhan tidak membuat cetakan manusia yang sama sehingga rambut
kita boleh sama hitam, tapi hati serta pikiran kita belum tentu sama, (Unik).
Keunikan itu sebagai salah satu ciri ketuhanan, bila kita pernah
memandang sesuatu yang kita anggap unik, maka itulah bukti bahwa kita tidak
bisa meniadakan tuhan, sekalipun ia tidak pernah muncul sepanjang hidup kita
sampai akhir hayat.
Selain
alasan diatas, mengapa Tuhan menganjurkan kita mengenal diri sendiri adalah
kita sesuatu yang nyata, ia adalah objek tempat kita mendasarkan semua alasan
tindakan yang kita perbuat.
Dari pemahaman ungkapan diatas, mengarah pada sebuah kesimpulan
bahwa kita tidak harus sama seperti apa yang orang lain lakukan, karena sangat
jelas ada perbedaan tempat kita menyandarkan semua alasan atas tindakan kita
yang dianggap berbeda tersebut.
Masa remaja telah usai, sekarang kita berada di sebuah perguruan tinggi.
Kata tinggi mengingatkan kita akan sebuah pohon yang tinggi dan
diterpa oleh angin yang kencang.
Maka
perguruan tinggi sebagai tempat kita menempa diri, bukan saja kita tidak bisa
turun, melainkan bisa jatuh terhempas dilantai tertimpa tangga.
Oohh... Nasib...!!
Dalam
rangka menghindari nasib seperti ini, maka para orang-orang sebelum kita
berusaha menanamkan doktrin agar kita senantiasa bersabar dengan semua bentuk
proses yang kita lalui.
Heeyy... anak muda..! masih muda koq loyo..!
bila terlalu banyak sabar, biasanya orang cenderung terkesan lemas
serta berusaha menghindari masalah. Kekeliruan ini bukan tidak sering dialami
setiap generasi, hampir disetiap generasi mengalami problem yang sama dan
mayoritas terjebak dengan takut masalah dan cenderung pilih jalan aman.
Oleh
karena itu perlu kita pertegas bahwa yang dimaksud dengan “sabar” disini bukan
berarti takut dengan persoalan duniawi, malainkan kita berusaha bertahan dengan
segala alasan positif untuk menaklukkan keadaan yang ada di depan mata.
Namun hal itu memang agak sulit diterima, mengingat sifat setiap
manusia mempunyai insting mempertahankan diri yang dalam arti, bila ada jalanan
yang kurang berkerikil insting tersebut selalu mengarahkan kita untuk cenderung
memilihnya.
Walau sebenarnya, dengan menghindari masalah yang ada dan pernah
muncul dihadapan mata tersebut bukan berarti melangkahi suatu masalah melainkan
menunda satu masalah lagi dalam sejumlah masalah yang pernah ada.
Tanpa masalah manusia harus mati, maka jangan heran akan adanya Tuhan menghadirkan segunung masalah bagi setiap individu manusia. Masalah demi masalah itu mau tidak mau harus kita lewati dengan baik dan benar, bila tidak ia akan memunculkan masalah yang baru lagi dan itu persoalan waktu dan kesiapan keberanian kita.
Tentu tak jarang kita mendengar akan orang yang melontarkan
bentuk penyesalannya akan kesalahan mengambil keputusan di waktu yang lampau,
lalu persoalan tersebut muncul dikemudian hari dimana kita secara umur tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk menemepuh perjalanan yang mungkin menawarkan
situasi dan kondisi yang lebih baik dari apa yang ada sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar