Translate

Senin, 30 April 2012

KEKUATAN SUMER DAYA MINYAK


Sumber Daya Minyak Sebagai Kekuatan
Oleh ;
Andi Lala
Ketua Bidang Hukum dan Lingkungan Hidup (HMI Badko Jabotabeka-Banten periode 2011-2013)
Kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) bukan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia, melainkan Indonesia yang dalam hal ini pemerintah sudah memetik pengalaman sejak dari awal pemerintahan Orde Baru yang dikenal dengan periode Kepemimpinan Jendral Soeharto. Awal terbentuknya pemerintahan Soeharto merupakan sisa yang ditinggalkan Soekarno dengan Demokrasi terpimpinnya. Pemerintah baru di bawah soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang nyaris ambruk. Utang luar negeri berjumlah US$ 2,400 juta, dengan laju inflasi mencapai 20-30% sebulan, infrastruktur berantakan, kapasitas produksi sektor industri dan ekspor merosot, dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak jalan lagi. Pemulihan ekonomi secepatnya menjadi target yang harus dicapai melalui pembangunan. Langkah Nasionalisasi perusahaan-perusahaan negara yang sebelumnya dimiliki pengusaha asing menjadi salah satu solusi bagi kebijakan pemerintah untuk menuju perekonomian yang stabil.
Pada masa itu pemerintahan soeharto yang baru tersebut mendapat sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam menuju perekonomian yang stabil dari beberapa ahli-ahli ekonomi seperti Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad sadli, dan Subroto untuk mempercepat program pemulihan ekonomi. Selain memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, pemerintah juga menciptakan iklim investasi yang menguntungkan.
Pada akhir tahun 1974 terjadi lonjakan harga minyak dunia sehingga minyak menjadi modal dasar yang menarik minat investor asing. Lonjakan harga minyak atau yang dikenal dengan istilah Boom minyak tersebut mampu mengatasi cash flow negara dengan cepat. Kesepakatan antara Ibnu Sutowo sebagai pemimpin perusahaan minyak dengan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Presiden mampu membuat negara tidak lagi bergantung pada modal swasta dan memiliki wewenang besar dalam menentukan arah pembangunan.
Pada pertengahan tahun 1980-an harga minyak kembali turun sedang disisi lain perekonomian harus terus meningkat, dalam kondisi genting ini kebijakan pemerintah mengambil tindakan alternatif dengan mengganti ekspor minyak dengan ekspor barang-barang manufaktur. Kendati demikian, Indonesia masih menjadi negara dengan income yang rendah per-kapita bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi sepanjang kepemimpinan Soeharto tidak mencapai peringkat yang memuaskan namun dapat dibuktikan dengan menyumbangkan peran yang besar untuk stabilitas ekonomi bagi masyarakat Indonesia pada masa itu.
Pengalaman yang panjang terjadi pada awal Orde Baru dengan berbagai kemelut yang ada dalam sisi politik ekonomi tersebut seharusnya menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi pemerintahan sekarang dalam menyikapi lonjakan harga minyak dunia dan mempertahankan kestabilan atau peningkatan ekonomi tingkat nasional.
Dua periode pemilihan pemimin negara (Presiden) Indonesia yang dimenangkan oleh SBY melalui Pemilu langsung, harus diakui bahwa rezim ini adalah generasi penerus atau pewaris dari rezim-rezim yang sebelumnya dimana kondisi ekonomi politik yang resisten. Lemahnya jiwa nasionalisme para pengusaha yang terlena dengan kemudahan dan kedekatan mereka dengan penguasa menjadi peluang untuk memperkaya diri pribadi maupun kelompok tanpa mempertimbangkan persoalan kekuatan negara dan lembaga-lembaganya dalam mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai. Hamper satu setengah periode sudah SBY memimpin Negara RI, serta telah terjadi beberapa kali kenaikan harga BBM yang diusulkan oleh pemerintah yaitu pertama kali di awal beliau menjabat kenaikan BBM terjadi pada tahun 2005, 2007 dan sekarang terjadi lagi pada 2012 dimana pemerintah Negara mengusulkan kenaikkan BBM melalui kesepakatan dalam Undang-undang APBN-P ke DPR, tentu saja partai utama yang mendorong SBY menjadi presiden yang bersikukuh dalam forum DPR-RI tentang kenaikan tersebut.
Dari rangkaian kenaikan BBM yang terjadi di awal sampai hari ini, tentu saja kenaikan BBM tersebut sangat mungkin dalam arti BBM Bisa naik dan bisa juga diturunkan sesuai dengan kenginginan para pemerinntah dan wakil rakyat yang berada di DPR. Namun bila dipandang dari sisi inflasi, BBM tersebut sangat kecil kemungkinannya untuk turun namun kenaikan itu hanya persoalan waktu. Sebagai mahasiswa saya tidak mempersoalkan upaya-upaya kenaikan Harga BBM namun pemerintah dan wakil rakyat harus juga mempertimbangkan Realitas tingkat kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam hal menurun atau menaikkan harga BBM. Kenapa Harga BBM menjadi sebuah perhatian yang serius? Tentu saja akan menarik perhatian banyak orang bila berkenaan dengan isu kenaikan BBM karena kenaikan harga BBM sangat mempengaruhi harga-harga barang yang lainnya. Setelah perhelatan yang dahsyat dalam forum pembahasan DPR, kali ini di sekitar gedung DPR pun turut mengalami kejadian-kejadian yang tragis, sebagai bentuk protes massa dari kalangan Mahasiswa dan masyarakat dalam demontrasi mereka ke DPR.
Antara polisi dan massa yang berunjuk rasa di gedung DPR-MPR RI turut mencekam akibat terjadi beberapa bentrokan, masing-masing adu kekuatan antara naik dan tidaknya harga bahan bakar minyak dalam hal ini premium dari harga Rp. 4.500 / liter menjadi sekitar Rp. 6000 / liter yang di usulkan oleh pemerintah. Pertanyaan lebih lanjut buat kita, mengapa BBM selalu menjadi menjadi hal utama yang harus dinaikkan bila kondisi Negara sedikit tersendat? Padahal kekayaan Indonesia bukan hanya terletak di bahan bakar minyak, namun juga mencakup Gas, Batu-bara, serta wilayah Indonesia dikaruniahi lahan-lahan perkebunan yang subur dan luas, yang seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah untuk di ekspor keluar negeri sebagai tambahan dari pendapatan Negara.
Inilah yang membedakan rezim pak Harto yang kemarin kita anggap tidak becus mengurus Negara ini dengan para pemimpin setelah beliau. Kita bisa merasakan adanya perhatian yang serius terhadap sector pertanian pada masa kepemimpinan pak Harto yang dikenal dengan Repelita I dan berakhir pada Revelita VII. Sedang sekarang meski kebebasan berpendapat dan bersuara dibuka selebar-lebarnya namun pada kenyataannya membuktikan bahwa suara para petani dan kaum miskin berada pada peringkat akhir untuk didengarkan oleh para pemerintah dan pemimpin negeri ini. Apa bedanya dengan zaman penjajahan belanda bila para konglomerat dan pemilik modal yang menjadi prioritas utama untuk didengarkan oleh para pemerintah. Bukankah di zaman penjajahan belanda juga demikian? Yaitu para raja-raja yang berkuasa di wilayah Indonesia diberikan perhatian khusus oleh pemerintah belanda agar mau tunduk padanya dan ikut peraturannya untuk memaksa rakyat kecil bekerja keras dengan imbalan yang tidak setimpal. Pertanyaan ini hanya ada sendiri sebagai seorang pembaca yang budiman bisa mempertimbangkan dan mengutarakan jawaban dan alasannya masing-masing.

2 komentar:

Sang Ketua mengatakan...

Topik soal cadangan minyak dunia sudah tak terhitung dibicarakan, ditulis, dan diseminarkan. Ribut-ribut soal rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kali ini mau tak mau juga mengingatkan kita akan suramnya masa depan dunia seandainya cadangan minyak habis. Data dan angka ternyata memunculkan prakiraan yang sungguh-sungguh membuat miris karena keberadaan sumber minyak bumi tidak akan lama, tinggal 41 tahun lagi.

Sang Ketua mengatakan...

Manusia sesungguhnya dikaruniai akal budi oleh Sang Pencipta untuk membuat kehidupan makin hari makin baik. Prediksi soal cadangan minyak dunia juga semestinya disikapi dengan makin serius mengembangkan sumber-sumber energi selain minyak bumi. Sangat disayangkan bahwa hiruk-pikuk pro-kontra rencana kenaikan harga BBM belum juga menjadi pendorong pemerintah maupun kelompok-kelompok terkait untuk makin gencar mengembangkan energi alternatif