Translate

Jumat, 20 Juli 2012

Agamais Politik


          Sempat bertambah, kepercayaan diri bagi umat muslim di Indonesia ketika menjelang dentuman Reformasi yaitu sekitar akhir tahun 80an yang lalu. Ketika itu beberapa para pemikir, peneliti bidang sosial dan politik yang berkesimpulan bahwa Islam di Indonesia adalah perekat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, hasil penelitian para sosiologi menyimpulkan bahwa yang bisa membahayakan bagi  Orde Baru adalah sekelompok generasi muda muslim di Indonesia itu sendiri. Ketika wacana ini digulirkan, hampir setiap generasi muslim di Indonesia menatap tajam-tajam kearah kepemimpinan Orde Baru, hasilnya adalah amukan massa yang meminta agar pak Harto segera turun dari Jabatannya sebagai Presiden RI.

Gonjang-ganjing politik kekuasaan tak kalah sengit pasca itu, pola pikir para pelajar dan intelektual dihadapkan pada sosok-sosok elit politik yang mengatur negara ini. BJ. Habibie yang mengantikan posisi pak Harto berusaha mewujudkan keinginan rakyat tanpa mempedulikan keamanan kekuasaannya dari rongrongan pihak-pihak berkepentingan. Pemilu digelar lebih cepat dengan harapan agar mampu meredam emosi masyarakat Indonesia atas kekecewaan mereka terhadap penguasa rezim Orde Baru. Pemilu sebelumnya pada tahun 1997 yang seharusnya dalam masa waktu lima tahun jatuh pada tahun 2002 dipercepat pelaksanaannya yaitu pada tahun 1999. Pergantian kepala negara diangkat dari kalangan kiyai di Indonesia, namun gembling politik belum juga berhasil diatasi. Kiyai pun sadar diri dan merelakan kekuasaan yang ditangannya untuk dialihkan ke tangan Wong Ciliek.

Wong Ciliek memimpin sampai dengan waktu yang ditentukan, berdasarkan hitungan lima tahun sebelumnya digelar  pemilu yaitu 2004. Secara berangsur kisruh politik menuju puncak kepemimpinan  NKRI perlahan melunak, aksi-aksi politik beralih kepada wacana yang matang, terukur dan terencana, berbeda dari suasana pasca 1998 yang lebih mengarah kepada rekonstruksi kekuatan secara fisik yang lebih dominan. Meski pergeseran teori-teori politik yang dimainkan para elit, segudang masalah yang menyangkut ketentraman masyarakat belum tersentuh. Ekonomi, Hukum dan keamanan masih sangat rentan untuk menjadi pemicu kekacauan berulang lagi. Generasi muda muslim yang sebelumnya sempat berbesar hati kembali terjebak dalam suasana “costmaterial”, suasana yang baru disadari yaitu untuk mengendalikan politik yang independent memperkecil peluang intervensi asing membutuhkan budget politik yang tinggi yaitu tidak cukup hanya dengan pengetahuan serta kekuatan iman belaka.

Pengetahuan tanpa iman ibarat daun yang kering, namun juga iman tanpa disertai uang sangat rapuh dalam kerangka demokrasi. Sehingga muncul ide bahwa akar persoalan terletak pada segi pendidikan masyarakat. Masyarakat yang terdiam selama 32 tahun orde baru seakan tersihir dengan kebiasaannya tak perlu tau urusan politik, bahwa semua orang yang menyatakan keinginannya dalam ranah politik adalah bohong, karena itu pula maka yang terpenting bagi rakyat adalah yang real-real saja. Maka politik pun berubah menjadi politik uang yang dianggap real tersebut. apapun masalahnya bisa diselesaikan atau dianggap selesai bila politik real itu berjalan.

Seperti halnya masyarakat mayoritas yang dihadapkan dengan berbagai persoalan dinegara ini hampir lupa akan sisi baik kerjasamanya melalui segi agama. Begitu juga tulisan ini, hampir saja tidak mengulas persoalan yang ingin disampaikan yaitu; "mengapa harus ada perbedaan merayakan Hari Raya Idul Fitri di Negara Kita yang mayoritas Muslim ini?" yang sejak awal tahun 2000 yang lalu telah bermunculan pula persoalan kelompok-kelompok yang mendeklarasikan sebagai pembawa ajaran baru seperti Ahmadiyah. Organisasi golongan islam sendiri yang telah sejak dulu berkembang di Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, dll. Seakan terkena wabah penyakit politik kekuasaan. Sampai persoalan awal puasa dan lebaran harus dibedakan demi untuk mengukur kekuatan kelompok masing-masing.

Tidak ada komentar: