Sempat bertambah, kepercayaan diri bagi umat muslim di
Indonesia ketika menjelang dentuman Reformasi yaitu sekitar akhir tahun 80an
yang lalu. Ketika itu beberapa para pemikir, peneliti bidang sosial dan politik
yang berkesimpulan bahwa Islam di Indonesia adalah perekat untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, hasil penelitian para sosiologi
menyimpulkan bahwa yang bisa membahayakan bagi
Orde Baru adalah sekelompok generasi muda muslim di Indonesia itu
sendiri. Ketika wacana ini digulirkan, hampir setiap generasi muslim di
Indonesia menatap tajam-tajam kearah kepemimpinan Orde Baru, hasilnya adalah
amukan massa yang meminta agar pak Harto segera turun dari Jabatannya sebagai
Presiden RI.
Gonjang-ganjing politik kekuasaan tak kalah sengit pasca itu, pola
pikir para pelajar dan intelektual dihadapkan pada sosok-sosok elit politik
yang mengatur negara ini. BJ. Habibie yang mengantikan posisi pak Harto
berusaha mewujudkan keinginan rakyat tanpa mempedulikan keamanan kekuasaannya
dari rongrongan pihak-pihak berkepentingan. Pemilu digelar lebih cepat dengan
harapan agar mampu meredam emosi masyarakat Indonesia atas kekecewaan mereka
terhadap penguasa rezim Orde Baru. Pemilu sebelumnya pada tahun 1997 yang
seharusnya dalam masa waktu lima tahun jatuh pada tahun 2002 dipercepat pelaksanaannya
yaitu pada tahun 1999. Pergantian kepala negara diangkat dari kalangan kiyai di
Indonesia, namun gembling politik belum juga berhasil diatasi. Kiyai pun sadar
diri dan merelakan kekuasaan yang ditangannya untuk dialihkan ke tangan Wong
Ciliek.
Wong Ciliek memimpin sampai dengan waktu yang ditentukan, berdasarkan
hitungan lima tahun sebelumnya digelar
pemilu yaitu 2004. Secara berangsur kisruh politik menuju puncak
kepemimpinan NKRI perlahan melunak, aksi-aksi
politik beralih kepada wacana yang matang, terukur dan terencana, berbeda dari
suasana pasca 1998 yang lebih mengarah kepada rekonstruksi kekuatan secara
fisik yang lebih dominan. Meski pergeseran teori-teori politik yang dimainkan
para elit, segudang masalah yang menyangkut ketentraman masyarakat belum
tersentuh. Ekonomi, Hukum dan keamanan masih sangat rentan untuk menjadi pemicu
kekacauan berulang lagi. Generasi muda muslim yang sebelumnya sempat berbesar
hati kembali terjebak dalam suasana “costmaterial”, suasana yang baru disadari
yaitu untuk mengendalikan politik yang independent memperkecil peluang intervensi
asing membutuhkan budget politik yang tinggi yaitu tidak cukup hanya dengan
pengetahuan serta kekuatan iman belaka.
Pengetahuan tanpa iman ibarat daun yang kering, namun juga
iman tanpa disertai uang sangat rapuh dalam kerangka demokrasi. Sehingga muncul
ide bahwa akar persoalan terletak pada segi pendidikan masyarakat. Masyarakat yang
terdiam selama 32 tahun orde baru seakan tersihir dengan kebiasaannya tak perlu
tau urusan politik, bahwa semua orang yang menyatakan keinginannya dalam ranah
politik adalah bohong, karena itu pula maka yang terpenting bagi rakyat adalah
yang real-real saja. Maka politik pun berubah menjadi politik uang yang dianggap
real tersebut. apapun masalahnya bisa diselesaikan atau dianggap selesai bila
politik real itu berjalan.
Seperti halnya masyarakat mayoritas yang dihadapkan dengan
berbagai persoalan dinegara ini hampir lupa akan sisi baik kerjasamanya melalui
segi agama. Begitu juga tulisan ini, hampir saja tidak mengulas persoalan yang
ingin disampaikan yaitu; "mengapa harus ada perbedaan merayakan Hari Raya Idul Fitri di Negara Kita yang mayoritas Muslim ini?" yang sejak
awal tahun 2000 yang lalu telah bermunculan pula persoalan kelompok-kelompok
yang mendeklarasikan sebagai pembawa ajaran baru seperti Ahmadiyah. Organisasi golongan
islam sendiri yang telah sejak dulu berkembang di Indonesia seperti
Muhammadiyah, NU, dll. Seakan terkena wabah penyakit politik kekuasaan. Sampai persoalan
awal puasa dan lebaran harus dibedakan demi untuk mengukur kekuatan kelompok
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar