Adalah
suatu misteri tak terlogikakan, kekuasaan Nabi Sulaiman dan tentaranya yang
menyihir dunia harus tunduk serta patuh pada kekuasaannya yang di hidayahkan
Tuhan, berakhir pada kematiannya yang tidak diketahui oleh siapapun.
Sedang
Tuhan semesta alam sangat menginginkan para manusia taat pada pemimpin yang
adil, baik hati, tidak serakah dan sombong.
Fakta
kedua adalah tentang kesadaran Muhammad SAW. Sebagai Rasul Allah yang terakhir.
Menjelang detik-detik akhir hayatnya, tak pernah menunjuk sesorang pemimpin bagi umat Islam yang akan ia
tinggalkan.
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW tersebut, huru-hara terjadi
akibat luapan emosi para sahabat Rasul, terutama oleh syaidina Umar RA. Proses
pembai’atan para sahabat dekatnya pula, sampai sekarang menjadi polemik ditubuh
Umat Islam yang kita kenal sebagai perseteruan antara Sunni dan Syiah.
Satu-persatu dari empat Kholifah awal pasca kematian Rasulullah pun meninggal
dunia yang bukan disebabkan sakit atau lanjut usia.
Dalam
fakta kedua tersebut, menjadi landasan bagi para peneliti sosial tentang
perbandingan agama untuk menyimpulkan bahwa penganut Agama Islam lebih tidak
terorganisir dengan baik dibandingkan agama Khatolik yang dilambangkan dengan
Paus sebagai generasi penerus yang menegakkan ajaran Yesus.
Pada
abad ke-18 sebagai abad kebangkitan peradaban yang dikenal dengan istilah
“Renaisance”, dimana orang mulai sadar akan kehidupan berpolitik yang
menganggap bahwa manusia adalah aset.
Agama-agama yang menuai banyak kritik
dari kalangan pemikir-pemikir terkenal pada akhirnya dikerucutkan pada sebuah
istilah “sekularisme” yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan
beragama.
Tak terelakkan lagi, pandangan dunia yang sebelumnya berpatron pada
kejayaan Islam di belahan timur bumi, beralih ke barat yang di dasarkan pada Yunani sebagai
cikal-bakal perkembangan peradaban di muka bumi.
Socrates, Plato, Aristoteles
merupakan objek referensi yang tenar dalam perkembangan Ilmu dan Pengetahuan
yang dianggap modern.
Sedangkan para pemikir dari golongan Muslim seperti
Al-khindi, Alfarabi, Ibnu Sina dan lainnya seakan tenggelam ditelan bumi. Hal
ini terjadi bukan saja di kalangan umat non-Muslim, melainkan termasuk objek
kebanggaan bagi kalangan intelektual muslim.
Paradigma
berpikir ini merupakan suatu peluang bagi pemukim belahan barat bumi untuk
mengukir nama baiknya.
Tentu saja peluang ini tidak di sia-siakan oleh mereka,
bahkan di jadikan sebuah alat untuk memimpin peradaban dunia. Perlahan
kurikulum pendidikan ketimuran tergeser dengan kehadiran kurikulum baru westernisasi (kebaratan) yang dianggap
lebih modern.
Dengan demikian tak ayal lagi bila tulisan anda mempunyai nilai
positif namun berbau ketimuran hanya berlaku di sekitar masjid atau mempunyai
peluang untuk dibacakan pada hari jum’at saat orang Khutbah dengan jamaah
Jum’at terkantuk sambil alibi khusuk berzikir.
Perjalanan
yang panjang pasca keruntuhan ke-Kholifahan umat muslim seakan kehilangan arah
dan kepercayaannya, bahwa sesama muslim itu bersaudara. Satu dan lainnya saling
menuding akan ketidak benaran sikap dan tindakan yang dilakukan sesama muslim tersebut.
Sejenak kita tinggalkan pembicaraan muslim secara global, mari menyoroti sedikit
fenomena muslim di sekitar kita (Indonesia). Dalam perkembangan budaya islam
yang sampai ke Indonesia bisa kita simpulkan bahwa hal yang berhasil ditularkan
budaya Islam sampai di sekitar kita adalah kegamangan paradoks dalam ajaran
hidup yang berkembang sampai saat ini. beberapa hari yang lalu issu
perselisihan Sunni versus Syiah mengalami perkembangan pada tahap benturan
fisik yang terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Begitu
juga dengan perkembangan politik nasional kita yang mengalami banyak kemajuan
dari sistem otoriter pemerintahan, bergeser menjadi pemerintahan demokratis, by the people, from the people, for the
people. Pada perpolitikan nasional seperti halnya lumrah terjadi dan
merupakan sebuah konsekuensi alam bagi seorang pemimpin yang berada diantara
dua hal, disatu pihak ia disukai dan dipihak lainnya ia dibenci.
Dalam cacat
bawaan demokrasi yang diterapkan pemerintahan yang sedang berkuasa, dikembangkan
dalam ajaran sosialis yang akhirnya menjadi sebuah cela bagi pihak oposisi
untuk menumbangkan rezim pemerintahan yang ada. Perseteruan tak kalah sengit
pada perpolitikan tingkat nasional kita.
Harus di akui, bila tidak berkeberatan
kita harus bangga pada pergulatan politik yang sedang terjadi sekarang ini,
sambil berharap pergulatan tersebut mampu membangkitkan sosok “Satria Piningit”
yang mungkin sedang tertidur, atau mungkin sedang lengah perhatiannya terhadap
bangsa kita Indonesia.
Bila
kita sedang bereforia dengan sistem Demokrasi versus sosialis, mungkin tidak
demikian adanya dengan negara yang pernah memperkenalkan sosok pemikir politik
yang mengerikan seperti Machiavelli dari negara Itali.
Ketenaran nama
Machiavelli lewat bukunya II Prince" menyihir kita untuk cenderung benci terhadap
pemikir-pemikir dari Itali karena dianggap tidak bermoral. Sehingga kita
terselip dalam menyimak sumbangan pemikiran Vilfredo Pareto tentang
perpolitikan di Itali menjelang akhir abad ke-19.
Vilfredo Pareto yang
kerasukan Jin Demokrasi dan membenci sosialis Marxis pada akhir penyelidikannya
tentang perseteruan politik, Demokrasi versus Sosialis mengatakan bahwa tidak
begitu penting apa yang menjadi prinsip yang dinyatakan oleh sebuah pemerintah,
Demokratis, sosialis, ataupun leberal, karena akibatnya sama saja yaitu
penindasan kaum miskin untuk keuntungan siapa saja yang berkuasa.
Dengan pernyataan seperti itu Vilfredo Pareto
tidak hanya tenggelam sumbangan pemikirannya melainkan juga ditenggelamkan
kedua bela pihak karena dianggap tidak membantu perkembangan peradaban yang
ada.
Benturan kedua ideologi besar ini merupakan salah satu faktor pemicu
ketegangan antara block barat dan block timur. Kiranya dapat kita ambil hikmah
dari keterlelapan ucapan Vilfredo Pareto yang telah diramalkan oleh pemikir
barat Samuel Hantington tentang benturan Ideologi selanjutnya adalah Islam dan
non-Islam.
Dengan kesimpulan tersebut tampak bahwa slogan persatuan para
penganut kepercayaan non-Islam telah ditemukan, tinggal proses penyatuannya
untuk berikutnya melakukan tekanan bersama terhadap Islam.
Bila
mengikuti logika berfikir tentang kekuasaan Nabi Sulaiman yang tak berbekas
atau Kesadaran Rasulullah yang tidak pernah menunjuk seseorang untuk memimpin
umat muslim atau kenapa Rasulullah tidak pernah menyarankan umatnya untuk
membentuk Negara Islam?
Hal itu dapat kita cernah bahwa kesempurnaan Tuhan
tergambarkan dengan ketidak adanya sistem bagi manusia yang cocok di muka bumi,
baik itu tentang Ideologi, hukum, negara serta keadilan. Disanalah menyiratkan
pada kita bahwa segala sesuatu yang berawal akan berakhir dan pada akhirnya, kepada
ketiadaanlah sesuatu akan kembali.
Bahwa
manusia menurut ajaran Islam juga menyiratkan setiap manusia adalah Khalifah di
muka bumi yang telah diberikan kepercayaan untuk membuktikan bahwa Allah itu
ada serta tiada yang dapat menandinginya (AQ. Suarat Al-alaq).
So...
masihkah kita terpanah dengan alunan teori Ideologi yang dipuja-puja?,
atau
masihkah kita terbuay dengan berbagai bentuk buayan yang menjanjikan kesenangan
Harta, Tahta ataupun Wanita?.
Apapun bentuk yang datang menghapiri dalam
kesendirian ataupun keramaian, sesungguhnya keputusan itu ada ditangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar