Translate

Rabu, 12 September 2012

KEBIMBANGAN PARADOKS


     Adalah suatu misteri tak terlogikakan, kekuasaan Nabi Sulaiman dan tentaranya yang menyihir dunia harus tunduk serta patuh pada kekuasaannya yang di hidayahkan Tuhan, berakhir pada kematiannya yang tidak diketahui oleh siapapun. 
   Sedang Tuhan semesta alam sangat menginginkan para manusia taat pada pemimpin yang adil, baik hati, tidak serakah dan sombong.

     Fakta kedua adalah tentang kesadaran Muhammad SAW. Sebagai Rasul Allah yang terakhir. Menjelang detik-detik akhir hayatnya, tak pernah menunjuk sesorang  pemimpin bagi umat Islam yang akan ia tinggalkan.  
        Pasca meninggalnya Rasulullah SAW tersebut, huru-hara terjadi akibat luapan emosi para sahabat Rasul, terutama oleh syaidina Umar RA. Proses pembai’atan para sahabat dekatnya pula, sampai sekarang menjadi polemik ditubuh Umat Islam yang kita kenal sebagai perseteruan antara Sunni dan Syiah. Satu-persatu dari empat Kholifah awal pasca kematian Rasulullah pun meninggal dunia yang bukan disebabkan sakit atau lanjut usia.

      Dalam fakta kedua tersebut, menjadi landasan bagi para peneliti sosial tentang perbandingan agama untuk menyimpulkan bahwa penganut Agama Islam lebih tidak terorganisir dengan baik dibandingkan agama Khatolik yang dilambangkan dengan Paus sebagai generasi penerus yang menegakkan ajaran Yesus.

       Pada abad ke-18 sebagai abad kebangkitan peradaban yang dikenal dengan istilah “Renaisance”, dimana orang mulai sadar akan kehidupan berpolitik yang menganggap bahwa manusia adalah aset. 
       Agama-agama yang menuai banyak kritik dari kalangan pemikir-pemikir terkenal pada akhirnya dikerucutkan pada sebuah istilah “sekularisme” yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan beragama. 
              Tak terelakkan lagi, pandangan dunia yang sebelumnya berpatron pada kejayaan Islam di belahan timur bumi, beralih ke barat  yang di dasarkan pada Yunani sebagai cikal-bakal perkembangan peradaban di muka bumi. 
      Socrates, Plato, Aristoteles merupakan objek referensi yang tenar dalam perkembangan Ilmu dan Pengetahuan yang dianggap modern. 
                Sedangkan para pemikir dari golongan Muslim seperti Al-khindi, Alfarabi, Ibnu Sina dan lainnya seakan tenggelam ditelan bumi. Hal ini terjadi bukan saja di kalangan umat non-Muslim, melainkan termasuk objek kebanggaan bagi kalangan intelektual muslim.

        Paradigma berpikir ini merupakan suatu peluang bagi pemukim belahan barat bumi untuk mengukir nama baiknya. 
            Tentu saja peluang ini tidak di sia-siakan oleh mereka, bahkan di jadikan sebuah alat untuk memimpin peradaban dunia. Perlahan kurikulum pendidikan ketimuran tergeser dengan kehadiran kurikulum baru westernisasi (kebaratan) yang dianggap lebih modern. 
        Dengan demikian tak ayal lagi bila tulisan anda mempunyai nilai positif namun berbau ketimuran hanya berlaku di sekitar masjid atau mempunyai peluang untuk dibacakan pada hari jum’at saat orang Khutbah dengan jamaah Jum’at terkantuk sambil alibi khusuk berzikir.

       Perjalanan yang panjang pasca keruntuhan ke-Kholifahan umat muslim seakan kehilangan arah dan kepercayaannya, bahwa sesama muslim itu bersaudara. Satu dan lainnya saling menuding akan ketidak benaran sikap dan tindakan yang dilakukan sesama muslim tersebut. 
                   Sejenak kita tinggalkan pembicaraan muslim secara global, mari menyoroti sedikit fenomena muslim di sekitar kita (Indonesia). Dalam perkembangan budaya islam yang sampai ke Indonesia bisa kita simpulkan bahwa hal yang berhasil ditularkan budaya Islam sampai di sekitar kita adalah kegamangan paradoks dalam ajaran hidup yang berkembang sampai saat ini. beberapa hari yang lalu issu perselisihan Sunni versus Syiah mengalami perkembangan pada tahap benturan fisik yang terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur.

      Begitu juga dengan perkembangan politik nasional kita yang mengalami banyak kemajuan dari sistem otoriter pemerintahan, bergeser menjadi pemerintahan demokratis, by the people, from the people, for the people. Pada perpolitikan nasional seperti halnya lumrah terjadi dan merupakan sebuah konsekuensi alam bagi seorang pemimpin yang berada diantara dua hal, disatu pihak ia disukai dan dipihak lainnya ia dibenci. 
             Dalam cacat bawaan demokrasi yang diterapkan pemerintahan yang sedang berkuasa, dikembangkan dalam ajaran sosialis yang akhirnya menjadi sebuah cela bagi pihak oposisi untuk menumbangkan rezim pemerintahan yang ada. Perseteruan tak kalah sengit pada perpolitikan tingkat nasional kita.  
        Harus di akui, bila tidak berkeberatan kita harus bangga pada pergulatan politik yang sedang terjadi sekarang ini, sambil berharap pergulatan tersebut mampu membangkitkan sosok “Satria Piningit” yang mungkin sedang tertidur, atau mungkin sedang lengah perhatiannya terhadap bangsa kita Indonesia.

         Bila kita sedang bereforia dengan sistem Demokrasi versus sosialis, mungkin tidak demikian adanya dengan negara yang pernah memperkenalkan sosok pemikir politik yang mengerikan seperti Machiavelli dari negara Itali. 
        Ketenaran nama Machiavelli lewat bukunya II Prince" menyihir kita untuk cenderung benci terhadap pemikir-pemikir dari Itali karena dianggap tidak bermoral. Sehingga kita terselip dalam menyimak sumbangan pemikiran Vilfredo Pareto tentang perpolitikan di Itali menjelang akhir abad ke-19.  
           Vilfredo Pareto yang kerasukan Jin Demokrasi dan membenci sosialis Marxis pada akhir penyelidikannya tentang perseteruan politik, Demokrasi versus Sosialis mengatakan bahwa tidak begitu penting apa yang menjadi prinsip yang dinyatakan oleh sebuah pemerintah, Demokratis, sosialis, ataupun leberal, karena akibatnya sama saja yaitu penindasan kaum miskin untuk keuntungan siapa saja yang berkuasa.
  
             Dengan pernyataan seperti itu Vilfredo Pareto tidak hanya tenggelam sumbangan pemikirannya melainkan juga ditenggelamkan kedua bela pihak karena dianggap tidak membantu perkembangan peradaban yang ada. 
         Benturan kedua ideologi besar ini merupakan salah satu faktor pemicu ketegangan antara block barat dan block timur. Kiranya dapat kita ambil hikmah dari keterlelapan ucapan Vilfredo Pareto yang telah diramalkan oleh pemikir barat Samuel Hantington tentang benturan Ideologi selanjutnya adalah Islam dan non-Islam. 
                      Dengan kesimpulan tersebut tampak bahwa slogan persatuan para penganut kepercayaan non-Islam telah ditemukan, tinggal proses penyatuannya untuk berikutnya melakukan tekanan bersama terhadap Islam.

        Bila mengikuti logika berfikir tentang kekuasaan Nabi Sulaiman yang tak berbekas atau Kesadaran Rasulullah yang tidak pernah menunjuk seseorang untuk memimpin umat muslim atau kenapa Rasulullah tidak pernah menyarankan umatnya untuk membentuk Negara Islam? 
                     Hal itu dapat kita cernah bahwa kesempurnaan Tuhan tergambarkan dengan ketidak adanya sistem bagi manusia yang cocok di muka bumi, baik itu tentang Ideologi, hukum, negara serta keadilan. Disanalah menyiratkan pada kita bahwa segala sesuatu yang berawal akan berakhir dan pada akhirnya, kepada ketiadaanlah sesuatu akan kembali.

      Bahwa manusia menurut ajaran Islam juga menyiratkan setiap manusia adalah Khalifah di muka bumi yang telah diberikan kepercayaan untuk membuktikan bahwa Allah itu ada serta tiada yang dapat menandinginya (AQ. Suarat Al-alaq).

So... masihkah kita terpanah dengan alunan teori Ideologi yang dipuja-puja?, 
atau masihkah kita terbuay dengan berbagai bentuk buayan yang menjanjikan kesenangan Harta, Tahta ataupun Wanita?. 

          Apapun bentuk yang datang menghapiri dalam kesendirian ataupun keramaian, sesungguhnya keputusan itu ada ditangan kita.

Tidak ada komentar: