Translate

Sabtu, 09 Maret 2013

Bentrokan TNI Versus Polisi di OKU, Nilai Plus Bagi Demonstran.


Bentrokan TNI Versus Polisi di OKU, Nilai Plus Bagi Demonstran.
 
Oleh : Andi lala S.H.

Pengantar
Dua instansi yang bertugas menjaga keamanan negara yaitu Polri (ancaman dalam negeri) dan TNI (ancaman dari Luar negeri). Dua instansi ini terlibat benturan yang berakhir dengan pembakaran kantor Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), sumatera selatan. Kejadian ini sangat disesalkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat secara umum. Mengingat tugas mereka sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk menjaga keamanan dan kedamaian ditengah masyarakat dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Persoalan ini yang semestinya tidak terjadi namun tanpa di duga setelah adanya pemisahan antara tugas kepolisian dengan tentara beberapa kejadian sebelumnya pun telah menunjukkan adanya ketidak akuran antara dua instansi keamanan negara tersebut. Dua instansi ini yang seharusnya terjalin kerjasama yang baik dalam rangka saling mendukung tugas mereka dalam memjaga keamanan.

Bila sebelum adanya kejadian-kejadian bentrokan antara dua instansi yang menjaga keaman negara ini, tak jarang masyarakat secara umum memandang sinis terhadap bentuk-bentuk protes kelompok masyarakat maupun mahasiswa yang mengatasnamakan lembaga organisasi yang dibentuk di kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Benturan yang terjadi memakan korban sebanyak 5 orang dalam kejadian pembakaran kantor mapolres OKU menunjukkan bahwa bukan saja mahasiswa atau masyarakat tertentu yang bisa bertindak anarkis dalam aksi protesnya yang disebabkan oleh rasa ketidak adilan dalam penegakan hukum yang adil. Kejadian sekelompok tentara yang membakar kantor polisi Mapolres OKU juga demikian. Sebagaimana yang diberitakan oleh media On-line Kompas.com pada tanggal 7 maret 2013. Dengan judul berita “Prajurit TNI OKU Kecewa Soal Penegakan Hukum” dengan isi berita yang di kutif dari artikel berita tersebut sebagai berikut:

Jakarta, Kompas.com-Kodam Sriwijaya tengah menginvestigasi secara internal siapa provokatorpenyerbuan Mapolres Ogan Kemering Ulu. Ditengarai, kekecewaan prajurit Yon Armed 15 terkait kasus penembakan temannya oleh anttota Polri pada 27 Januari 2013 lalu yang tidak jelas titik terang penangan hukumnya memicu insiden itu.

Hal ini disampaikan oleh pangdam sriwijaya mayjen tni nugroho widyotomo, saat dihubungi, kamis (7/3/2013).
Pada 27 Januari, seorang anggota Yon Armed 15 melintas di depan pos polisi. Ia pulang dari pesta pernikahan temannya pada pukul 01.30 wib. Prajurit itu berteriak “polisi gilo” (Polisi Gila) kepada anggota Polri yang sedang berjaga.

Polisi langsung tembak dan menewaskan prajurit itu, cerita nugroho.
Pada kamis (7/3/2013) pagi seharusnya diisi dengan olahraga. Beberapa prajurit menghadap komandan batalyon armed 15/76 meminta izin untuk menyampaikan aspirasi damai. Mereka ingin bertemu kapolres ogan komering ulu untuk menanyakan sampai dimana proses hukum kasus penembakan temannya.

Proses itu sudah diambil alih polda sumatera selatan dan belum ada titik terangnya. Namun, mereka kecewa karena kapolres belum datang. Padahal, rencana kedatangan para prajurit itu sudah dimapaikan sebelumnya.
Kekecewaan itu ditambah dengan keatangan anggota POM TNI AD yang menghalangi niat aspirasi damai. Kekecewaan itu dilampiaskand engan membakar dan melempar.
Anggota kecewa, kenapa Kapolres tidak ada, kata Nugroho.

Tumpukan ketidak percayaan pada proses penegakan hukum akhirnya pecah dalam bentuk aksi.
Saat ini nugroho menyatakan, kodam sriwijaya tengah melakukan investigasi untuk menemukan provokatro penyerbuan tersebut. Pimpinan kodam dan polda juga tengah mengupayakan langkah-langkah agar insiden tidak meluas.

Demonstran Sipil.
Dalam berita yang disebarkan melalui media elektronik ini selayaknya membuka mata para masyarakat yang selama ini memandang remeh para pengunjuk rasa yang sering dikabarkan bentrok, oleh media-media baik cetak maupun elektronik. Dari berita tersebut di atas yang mana asal mulanya juga dari niatan untuk menyampaikan aspirasi, layaknya para kelompok masyarakat yang tergabung dalam oraganisasi maupun organisasi mahasiswa yang juga sering berakhir dengan bentrokan.

Hampir setiap hari bentuk aksi penyampaian aspirasi, baik dari golongan mahasiswa maupun lembaga-lembaga masyarakat terjadi disekitaran Jakarta. Namun dapat kita hitung kejadian bentrokan fisik yang merusak atau memakan korban dari akhir aksi-aksi penyampaian aspirasi dari kelompok sipil tersebut. Dari berbagai aksi-aksi penyampaian aspirasi yang terjadi maupun yang diberitakan oleh media, memang sangat minim sekali aksi penyampaian apirasi tersebut dari kelompok tentara ataupun polisi, karena memang tugas mereka adalah mengawal masyarakat untuk mengantisipasi kejadian-kejadian yang mengganggu keamana atau ketertiban umum. Namun hari ini kita saksikan betapa pentingnya rasa keadilan bagi setiap orang, sehingga tentara dan polisi yang mempunyai tugas yang mirip dalam amanat undang-undang yang mengatur mereka dapat berbenturan (memakan korban dan merusak fasilitas negara) akibat kekecewaan pada proses penegakan hukum. Kita akui bahwa hanya polisi dan tentara yang mendapatkan jaminan hukum untuk dapat menggunakan senjata api, namun tak jarang pula amanat senjata api yang dilegalkan secara hukum untuk digunakan sebagaimana mestinya itu disalah gunakan oleh pejabat yang berwenang. Secara singkatnya, penyampaian aspirasi oleh aparat keamanan jarang terjadi, namun sekali terjadi hal itu tidak tanggung-tanggung alias bisa langsung memakan korban beberapa orang, atau merusak pasilitas negara yang mana hal itu sulit untuk dilakukan oleh para demonstan dari masyarakat maupun mahasiswa.

Kejadian ini, semestinya mampu menyadarkan setiap instansi maupun setiap warga Negara, bahwa sangat perlu memahami produk-produk hukum yang berlaku yang mana undang-undang tersebut berkembang dan mengalami beberapa perubahan-perubahan yang disebabkan perkembangan sosial ditengah masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat dapat memahami alasan-alasan setiap aksi penyamapaian aspirasi oleh mahasiswa maupun lembaga masyarakat tertentu, sampai dimana tingkat esensi keadilan yang di teriakkan serta sampai dimana pula esensi keadilan itu dilanggar dalam praktek yang dijalankan oleh instansi pemerintah kita.

Demonstran Mahasiswa (HMI)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang belakangan ini banyak menyerukan aspirasi-aspirasinya terhadap instansi-instansi tertentu disekitarnya, tak jarang pula hal ini HMI menjadi benalu di mata masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa instansi tertentu menolak kehadiran HMI untuk datang atau bergabung dengannya yang mana dasar penolakan tersebut berangkat dari berita-berita yang mengabarkan demonstran dari HMI sering membuat kisruh, anarkisme, prontal, merugikan negara, dan sebagainnya. Selain lembaga atau organisasi tertentu yang bersifat semi militer yang memberikan doktrin pada anggotanya agar anti terhadap golongan mahasiswa atau lembaga masyarakat yang suka “Demo”, diantaranya terdapat beberapa kampus-kampus perguruan tinggi yang menolak atau memecat mahasiswanya yang diketahui bergabung dengan organisasi yang tercitrakan buruk di mata masyarakat ini. setelah beberapa kejadian aksi-aksi oleh instansi militer yang justru lebih parah dalam hal mengancam keamanan bagi masyarakat, semoga mampu membuat pencerahan bagi masyarakat tersebut dalam memandang setiap aksi-aksi penyampaian aspirasi oleh mahasiswa ataupun lembaga masyarakat sendiri. Sehingga satu sama lain, diantara warga negara ini dapat saling membantu atau tolong-menolong dalam hal memperingatkan, menjalankan dan mempraktekkan kebaikan dan keadilan yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku serta menjauhkan diri dari praktek-praktek saling menyokong untuk suatu perbuatan yang dapat merugikan secara umumnya.

Khususnya Mahasiswa yang lebih sering mendapatkan kecaman dari berbagai pihak akibat dari aksi-aksi mereka yang terkadang bentrok dorong-dorongan dengan oknum penjaga keamanan atau sebatas merusak pagar suatu gedung isntansi yang terkait, telah terbukti bahwa hal itu masih dalam batasan kewajaran yang mana usaha-usaha tersebut lebih banyak dilakukan dengan tanpa pamri bersifat membela kepada kaum yang lemah namun tertindas karena ketidak berdayaannya melakukan perlawan terhadap suatu kezaliman atau ketidak adilan dari instansi-instansi tertentu. Seharusnya pula mendapatkan suatu apresiasi dari kalangan masyarakat luas maupun pemerintah atau bahkan tidak menutup kemungkinan dari pihak-pihak tertentu dapat membantu mahasiswa tersebut untuk meringankan beban-beban ongkos kuliahnya yang telah menyisihkan tenaga serta pikirannya untuk kemakmuran bersama rakyat Indonesia.

Organisasi HMI yang berdiri sejak tahun 1947 Masehi atau bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 Hijria ini, telah melakukan ratusan bahkan ribuan kali turun kejalan atau melakukan aksi-aksi penyampaian aspirasi dari hasi kajian dan pembelajaran yang didapatkan oleh para anggotanya dari kampus perguruan tinggi. Tidak pernah memakan korban meninggal pihak penjaga keamanan seperti polisi ataupun tentara, justru sebaliknya tidak sedikit pula anggota dari mereka yang meninggal ataupun terluka akibat pembubaran paksa yang dilakukan oleh para pejabat yang katanya bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta tidak ada gedung yang dibakar oleh para mahasiswa dari organisasi eksternal kampus bernama HMI.

Organisasi HMI yang telah banyak mencetak kader-kadernya yang bergerak dibidang intelektual, politisi, dan juga pragtisi, pasca melewati beberapa jenjang perkaderan maupun struktural di internal oganisasinya yang juga sekarang mengabdikan diri untuk bangsa dan negara Indonesia. Saat ini pula tidak sedikit yang mengecamnya dalam kasus-kasus tingkat nasional (Korupsi Hambalang ditetapkannya Anas urbaningrum, mantan ketua umum PB HMI dan mantan Ketua Umum partai demokrat) yang sekarang sedang menjadi objek pemberitaan setiap media baik cetak maupun elektronik tidak sedikit media yang berusaha menyudutkan HMI sebagai organisasi yang mengajarkan etika perpolitikan yang tidak terpuji dalam pemberitaannya, kira-kira tak kurang mempengaruhi paradigma berfikirnya masyarakat untuk menolak kehadiran para anggota HMI di lingkungannya. Sebagaimana yang berkembang dalam berita-berita terkait itu, secara historisnya sosok yang besengketa seputar kekuasaan berasal dari HMI dan Militer. Dalam hal ini, paradigama yang sudah lama terbangun di masyarakat bahwa hasil produk dari HMI bukan ini yang pertamakalinya mengalami kasus-kasus besar, sehingga sangat mungkin menambah keyakinan di tengah masyarakat untuk berpendapat bahwa golongan dari militer-lah yang lebih baik serta lebih unggul untuk menjadi sosok memimpin negara ini.

Kesimpulan
Kurangnya pengetahuan serta pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku di negara pada umumnya dan bagi individu masyarakat itu sendiri khususnya, menjadi tempat berlindung bagi para okum pelaku ketidak adilan di negeri ini. sehingga penduduk Indonesia yang masyoritas islam belum mampu mejalankan anjuran yang termakhtub dalam kitab sucinya “tolong-menolong lah kamu dalam hal berbuat kebaikan dan jangan lah tolong-menolong dalam hal keburukan”.

Mental masyarakat yang masih dipengaruhi sifat-sifat feodal, dimana keteraturan dan ketertiban itu baru bisa dipraktekkan bila di bawah tekanan kekerasan yang mengancamnya. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa fakta kejadian diantaranya, banyaknya antrian orang-orang yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menjadi pejabat seperti Polisi dan Tentara yang merupakan pilihan terhebat dari berbagai pilihan status sosial lainnya. Beberapa bukti pemilu-pemilu yang digelar yang mampu memenangkan kandidat dari latarbelakang militer, selain itu catatan history sosok Presiden Indonesia yang lebih lama di tangan orang yang sebelumnya berasal dari militer seperti Jend. Soeharto selama 32 tahun dan SBY selama 2 periode sebagaimana telah diatur dalam perubahan UUD sampai sekarang ini dan menetapkan batas maksimalnya. Adapun bila presiden itu berasal dari latarbelakang sipil hanya bersifat sementara yang dimulai dari Ir. Soekarno yaitu berkuasa sementara negara dalam kondisi yang di rongrong oleh belanda dan jepang, Prof. Habibie kurang lebihi 1 tahun, gusdur selama 2 tahun dan mega wati untuk menghabiskan sisa masa periode 5 tahun dari terpilihnya Presiden Gusdur.

Tentu saja secara logika kesamaan hak dan kewajiban-kewajibannya antara sipil dengan militer tersebut dalam masa kepemimpinannya mengalami problem yang sama-sama dianggap belum mampu membawa pada masyarakat yang adil dan makmur sesuai keinginan ideologi pancasila, namun indikasi ketidak adilan itu perebutan kekuasaan di tingkat nasional lebih banyak dimenangkan oleh sosok dari militer dengan kebanggaan masyarakat bahwa mereka menguasa senjata untuk berperang melawan musuh. Namun bila musuh tidak datang dari luar, atau musuh dari luar itu tidak bisa ditangkal dengan kekuatan persenjataan perang, uji coba kemampuan itu bukan tidak mungkin dilakukan terhadap masyarakat itu sendiri. Maka seharusnya pula, masyarakat tidak harus mengeluh bila ada tindakan-tindakan represip dari oknum-oknum militer, karena memang mereka belum mampu merubah paradigama berfikirnya untuk lepas dari faham-faham feodal.

1 komentar:

HAMMAD mengatakan...

Betapa kuatnya Indonesia ketika HMI begitu mesra dengan militer baik pada masa revolusi fisik maupun pasca kemerdekaan sampai-sampai disebutkan perkaderan kedua terbaik adalah HMI setelah yang pertama adalah militer.

Mempertentangkan HMI dengan polisi adalah satu cara untuk mencitrakan HMI sebagai sebuah masalah sehingga mendapat hukuman oleh opini publik dan ini sekaligus akan mengurangi eksistensinya di kemudian hari.

Mempertentangkan HMI dengan para senior militer di peruntukkan untuk melemahkan setiap jengkal pondasi bangsa agar rapuh dan lebih mudah untuk di kuasai asing.

Sampai saat ini kesadaran bangsa kita akan bahaya laten peninggalan kolonialis yakni "Devide at Impera" makin rendah kita tidak bisa berbuat banyak karena kita mirip manusia- manusia dalam genggaman raksasa.

Sebenarnya sangat dibutuhkan political will dari semua elemen bangsa untuk bersatu dan hal itu akan sangat sulit dilakukan ketika keadilan tidak di tegakkan.

Sistem yang dibuat sedemikian rupa telah menjadikan kita semua terkotak-kotak dalam sangkar raksasa, masyarakat kita pun telah terbius dan mudah sekali menelan setiap opini dan inilah yang disebut koraban pembodohan, sudah hampir lengkap penderitaan bangsa ini, Indonesia butuh pencerahan, Indonesia rindu persatuan dan kesatuan, Indonesia rindu kebersamaan, untuk itu kita sebagai kader-kader bangsa harus kembali merajut semua harapan itu, baik sebagai militer, aktivist, polisi dan juga masyarakat harus sadar dan jangan terlena dengan perlakuan-perlakuan istimewa yang pada akhirnya menyulit ketidak adilan. sebagai masyarakat mari membuka mata bahwa kader-kader bangsa adalah asset termahal yang kita miliki saat ini, apapu baik dan buruknya ia adalah keluarga besar kita hidarkan opini-opini yang mendiskreditkan setiap komponen bangsa dan cermati setiap judul pemberitaaan ( mengapa mereka menulis judul seperti itu..ada apa di balik sebuah judul) sehingga kita akan berfikir objektif. salam perjuangan.