Bentrokan TNI Versus Polisi di OKU, Nilai Plus Bagi
Demonstran.
Oleh : Andi lala S.H.
Pengantar
Dua instansi yang
bertugas menjaga keamanan negara yaitu Polri (ancaman dalam negeri) dan TNI
(ancaman dari Luar negeri). Dua instansi ini terlibat benturan yang berakhir
dengan pembakaran kantor Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), sumatera selatan.
Kejadian ini sangat disesalkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat secara umum. Mengingat tugas mereka sebagai pejabat yang diberi
wewenang untuk menjaga keamanan dan kedamaian ditengah masyarakat dari berbagai
ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Persoalan ini yang
semestinya tidak terjadi namun tanpa di duga setelah adanya pemisahan antara
tugas kepolisian dengan tentara beberapa kejadian sebelumnya pun telah
menunjukkan adanya ketidak akuran antara dua instansi keamanan negara tersebut.
Dua instansi ini yang seharusnya terjalin kerjasama yang baik dalam rangka
saling mendukung tugas mereka dalam memjaga keamanan.
Bila sebelum adanya
kejadian-kejadian bentrokan antara dua instansi yang menjaga keaman negara ini,
tak jarang masyarakat secara umum memandang sinis terhadap bentuk-bentuk protes
kelompok masyarakat maupun mahasiswa yang mengatasnamakan lembaga organisasi
yang dibentuk di kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Benturan yang terjadi
memakan korban sebanyak 5 orang dalam kejadian pembakaran kantor mapolres OKU
menunjukkan bahwa bukan saja mahasiswa atau masyarakat tertentu yang bisa
bertindak anarkis dalam aksi protesnya yang disebabkan oleh rasa ketidak adilan
dalam penegakan hukum yang adil. Kejadian sekelompok tentara yang membakar
kantor polisi Mapolres OKU juga demikian. Sebagaimana yang diberitakan oleh
media On-line Kompas.com pada tanggal 7 maret 2013. Dengan judul berita “Prajurit TNI OKU Kecewa Soal Penegakan
Hukum” dengan isi berita yang di kutif dari artikel berita tersebut sebagai
berikut:
Jakarta, Kompas.com-Kodam Sriwijaya tengah menginvestigasi
secara internal siapa provokatorpenyerbuan Mapolres Ogan Kemering Ulu.
Ditengarai, kekecewaan prajurit Yon Armed 15 terkait kasus penembakan temannya
oleh anttota Polri pada 27 Januari 2013 lalu yang tidak jelas titik terang
penangan hukumnya memicu insiden itu.
Hal ini disampaikan oleh pangdam sriwijaya mayjen tni nugroho
widyotomo, saat dihubungi, kamis (7/3/2013).
Pada 27 Januari, seorang anggota Yon Armed 15 melintas di
depan pos polisi. Ia pulang dari pesta pernikahan temannya pada pukul 01.30
wib. Prajurit itu berteriak “polisi gilo” (Polisi Gila) kepada anggota Polri
yang sedang berjaga.
Polisi langsung tembak dan menewaskan prajurit itu, cerita
nugroho.
Pada kamis (7/3/2013) pagi seharusnya diisi dengan olahraga.
Beberapa prajurit menghadap komandan batalyon armed 15/76 meminta izin untuk
menyampaikan aspirasi damai. Mereka ingin bertemu kapolres ogan komering ulu
untuk menanyakan sampai dimana proses hukum kasus penembakan temannya.
Proses itu sudah diambil alih polda sumatera selatan dan
belum ada titik terangnya. Namun, mereka kecewa karena kapolres belum datang.
Padahal, rencana kedatangan para prajurit itu sudah dimapaikan sebelumnya.
Kekecewaan itu ditambah dengan keatangan anggota POM TNI AD
yang menghalangi niat aspirasi damai. Kekecewaan itu dilampiaskand engan
membakar dan melempar.
Anggota kecewa, kenapa Kapolres tidak ada, kata Nugroho.
Tumpukan ketidak percayaan pada proses penegakan hukum
akhirnya pecah dalam bentuk aksi.
Saat ini nugroho menyatakan, kodam sriwijaya tengah melakukan
investigasi untuk menemukan provokatro penyerbuan tersebut. Pimpinan kodam dan
polda juga tengah mengupayakan langkah-langkah agar insiden tidak meluas.
Demonstran Sipil.
Dalam berita yang
disebarkan melalui media elektronik ini selayaknya membuka mata para masyarakat
yang selama ini memandang remeh para pengunjuk rasa yang sering dikabarkan
bentrok, oleh media-media baik cetak maupun elektronik. Dari berita tersebut di
atas yang mana asal mulanya juga dari niatan untuk menyampaikan aspirasi,
layaknya para kelompok masyarakat yang tergabung dalam oraganisasi maupun
organisasi mahasiswa yang juga sering berakhir dengan bentrokan.
Hampir setiap hari
bentuk aksi penyampaian aspirasi, baik dari golongan mahasiswa maupun
lembaga-lembaga masyarakat terjadi disekitaran Jakarta. Namun dapat kita hitung
kejadian bentrokan fisik yang merusak atau memakan korban dari akhir aksi-aksi
penyampaian aspirasi dari kelompok sipil tersebut. Dari berbagai aksi-aksi
penyampaian aspirasi yang terjadi maupun yang diberitakan oleh media, memang
sangat minim sekali aksi penyampaian apirasi tersebut dari kelompok tentara ataupun
polisi, karena memang tugas mereka adalah mengawal masyarakat untuk
mengantisipasi kejadian-kejadian yang mengganggu keamana atau ketertiban umum.
Namun hari ini kita saksikan betapa pentingnya rasa keadilan bagi setiap orang,
sehingga tentara dan polisi yang mempunyai tugas yang mirip dalam amanat
undang-undang yang mengatur mereka dapat berbenturan (memakan korban dan
merusak fasilitas negara) akibat kekecewaan pada proses penegakan hukum. Kita
akui bahwa hanya polisi dan tentara yang mendapatkan jaminan hukum untuk dapat
menggunakan senjata api, namun tak jarang pula amanat senjata api yang
dilegalkan secara hukum untuk digunakan sebagaimana mestinya itu disalah
gunakan oleh pejabat yang berwenang. Secara singkatnya, penyampaian aspirasi
oleh aparat keamanan jarang terjadi, namun sekali terjadi hal itu tidak
tanggung-tanggung alias bisa langsung memakan korban beberapa orang, atau
merusak pasilitas negara yang mana hal itu sulit untuk dilakukan oleh para
demonstan dari masyarakat maupun mahasiswa.
Kejadian ini,
semestinya mampu menyadarkan setiap instansi maupun setiap warga Negara, bahwa
sangat perlu memahami produk-produk hukum yang berlaku yang mana undang-undang
tersebut berkembang dan mengalami beberapa perubahan-perubahan yang disebabkan
perkembangan sosial ditengah masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat dapat
memahami alasan-alasan setiap aksi penyamapaian aspirasi oleh mahasiswa maupun
lembaga masyarakat tertentu, sampai dimana tingkat esensi keadilan yang di
teriakkan serta sampai dimana pula esensi keadilan itu dilanggar dalam praktek
yang dijalankan oleh instansi pemerintah kita.
Demonstran Mahasiswa (HMI)
Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) yang belakangan ini banyak menyerukan aspirasi-aspirasinya terhadap
instansi-instansi tertentu disekitarnya, tak jarang pula hal ini HMI menjadi
benalu di mata masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa instansi tertentu menolak
kehadiran HMI untuk datang atau bergabung dengannya yang mana dasar penolakan
tersebut berangkat dari berita-berita yang mengabarkan demonstran dari HMI
sering membuat kisruh, anarkisme, prontal, merugikan negara, dan sebagainnya.
Selain lembaga atau organisasi tertentu yang bersifat semi militer yang
memberikan doktrin pada anggotanya agar anti terhadap golongan mahasiswa atau
lembaga masyarakat yang suka “Demo”, diantaranya terdapat beberapa
kampus-kampus perguruan tinggi yang menolak atau memecat mahasiswanya yang
diketahui bergabung dengan organisasi yang tercitrakan buruk di mata masyarakat
ini. setelah beberapa kejadian aksi-aksi oleh instansi militer yang justru
lebih parah dalam hal mengancam keamanan bagi masyarakat, semoga mampu membuat
pencerahan bagi masyarakat tersebut dalam memandang setiap aksi-aksi
penyampaian aspirasi oleh mahasiswa ataupun lembaga masyarakat sendiri. Sehingga
satu sama lain, diantara warga negara ini dapat saling membantu atau
tolong-menolong dalam hal memperingatkan, menjalankan dan mempraktekkan
kebaikan dan keadilan yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku serta
menjauhkan diri dari praktek-praktek saling menyokong untuk suatu perbuatan
yang dapat merugikan secara umumnya.
Khususnya Mahasiswa
yang lebih sering mendapatkan kecaman dari berbagai pihak akibat dari aksi-aksi
mereka yang terkadang bentrok dorong-dorongan dengan oknum penjaga keamanan atau
sebatas merusak pagar suatu gedung isntansi yang terkait, telah terbukti bahwa
hal itu masih dalam batasan kewajaran yang mana usaha-usaha tersebut lebih
banyak dilakukan dengan tanpa pamri bersifat membela kepada kaum yang lemah
namun tertindas karena ketidak berdayaannya melakukan perlawan terhadap suatu
kezaliman atau ketidak adilan dari instansi-instansi tertentu. Seharusnya pula
mendapatkan suatu apresiasi dari kalangan masyarakat luas maupun pemerintah
atau bahkan tidak menutup kemungkinan dari pihak-pihak tertentu dapat membantu
mahasiswa tersebut untuk meringankan beban-beban ongkos kuliahnya yang telah
menyisihkan tenaga serta pikirannya untuk kemakmuran bersama rakyat Indonesia.
Organisasi HMI yang
berdiri sejak tahun 1947 Masehi atau bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366
Hijria ini, telah melakukan ratusan bahkan ribuan kali turun kejalan atau
melakukan aksi-aksi penyampaian aspirasi dari hasi kajian dan pembelajaran yang
didapatkan oleh para anggotanya dari kampus perguruan tinggi. Tidak pernah
memakan korban meninggal pihak penjaga keamanan seperti polisi ataupun tentara,
justru sebaliknya tidak sedikit pula anggota dari mereka yang meninggal ataupun
terluka akibat pembubaran paksa yang dilakukan oleh para pejabat yang katanya
bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta tidak ada gedung yang dibakar
oleh para mahasiswa dari organisasi eksternal kampus bernama HMI.
Organisasi HMI yang
telah banyak mencetak kader-kadernya yang bergerak dibidang intelektual,
politisi, dan juga pragtisi, pasca melewati beberapa jenjang perkaderan maupun
struktural di internal oganisasinya yang juga sekarang mengabdikan diri untuk
bangsa dan negara Indonesia. Saat ini pula tidak sedikit yang mengecamnya dalam
kasus-kasus tingkat nasional (Korupsi Hambalang ditetapkannya Anas urbaningrum,
mantan ketua umum PB HMI dan mantan Ketua Umum partai demokrat) yang sekarang
sedang menjadi objek pemberitaan setiap media baik cetak maupun elektronik
tidak sedikit media yang berusaha menyudutkan HMI sebagai organisasi yang mengajarkan
etika perpolitikan yang tidak terpuji dalam pemberitaannya, kira-kira tak
kurang mempengaruhi paradigma berfikirnya masyarakat untuk menolak kehadiran
para anggota HMI di lingkungannya. Sebagaimana yang berkembang dalam
berita-berita terkait itu, secara historisnya sosok yang besengketa seputar
kekuasaan berasal dari HMI dan Militer. Dalam hal ini, paradigama yang sudah
lama terbangun di masyarakat bahwa hasil produk dari HMI bukan ini yang
pertamakalinya mengalami kasus-kasus besar, sehingga sangat mungkin menambah
keyakinan di tengah masyarakat untuk berpendapat bahwa golongan dari
militer-lah yang lebih baik serta lebih unggul untuk menjadi sosok memimpin
negara ini.
Kesimpulan
Kurangnya
pengetahuan serta pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan hukum yang
berlaku di negara pada umumnya dan bagi individu masyarakat itu sendiri
khususnya, menjadi tempat berlindung bagi para okum pelaku ketidak adilan di
negeri ini. sehingga penduduk Indonesia yang masyoritas islam belum mampu
mejalankan anjuran yang termakhtub dalam kitab sucinya “tolong-menolong lah
kamu dalam hal berbuat kebaikan dan jangan lah tolong-menolong dalam hal
keburukan”.
Mental masyarakat
yang masih dipengaruhi sifat-sifat feodal, dimana keteraturan dan ketertiban
itu baru bisa dipraktekkan bila di bawah tekanan kekerasan yang mengancamnya.
Hal ini ditunjukkan dengan beberapa fakta kejadian diantaranya, banyaknya
antrian orang-orang yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menjadi
pejabat seperti Polisi dan Tentara yang merupakan pilihan terhebat dari
berbagai pilihan status sosial lainnya. Beberapa bukti pemilu-pemilu yang
digelar yang mampu memenangkan kandidat dari latarbelakang militer, selain itu
catatan history sosok Presiden Indonesia yang lebih lama di tangan orang yang sebelumnya
berasal dari militer seperti Jend. Soeharto selama 32 tahun dan SBY selama 2
periode sebagaimana telah diatur dalam perubahan UUD sampai sekarang ini dan
menetapkan batas maksimalnya. Adapun bila presiden itu berasal dari
latarbelakang sipil hanya bersifat sementara yang dimulai dari Ir. Soekarno
yaitu berkuasa sementara negara dalam kondisi yang di rongrong oleh belanda dan
jepang, Prof. Habibie kurang lebihi 1 tahun, gusdur selama 2 tahun dan mega
wati untuk menghabiskan sisa masa periode 5 tahun dari terpilihnya Presiden
Gusdur.
Tentu saja secara
logika kesamaan hak dan kewajiban-kewajibannya antara sipil dengan militer
tersebut dalam masa kepemimpinannya mengalami problem yang sama-sama dianggap
belum mampu membawa pada masyarakat yang adil dan makmur sesuai keinginan
ideologi pancasila, namun indikasi ketidak adilan itu perebutan kekuasaan di
tingkat nasional lebih banyak dimenangkan oleh sosok dari militer dengan
kebanggaan masyarakat bahwa mereka menguasa senjata untuk berperang melawan musuh.
Namun bila musuh tidak datang dari luar, atau musuh dari luar itu tidak bisa
ditangkal dengan kekuatan persenjataan perang, uji coba kemampuan itu bukan
tidak mungkin dilakukan terhadap masyarakat itu sendiri. Maka seharusnya pula,
masyarakat tidak harus mengeluh bila ada tindakan-tindakan represip dari
oknum-oknum militer, karena memang mereka belum mampu merubah paradigama
berfikirnya untuk lepas dari faham-faham feodal.
1 komentar:
Betapa kuatnya Indonesia ketika HMI begitu mesra dengan militer baik pada masa revolusi fisik maupun pasca kemerdekaan sampai-sampai disebutkan perkaderan kedua terbaik adalah HMI setelah yang pertama adalah militer.
Mempertentangkan HMI dengan polisi adalah satu cara untuk mencitrakan HMI sebagai sebuah masalah sehingga mendapat hukuman oleh opini publik dan ini sekaligus akan mengurangi eksistensinya di kemudian hari.
Mempertentangkan HMI dengan para senior militer di peruntukkan untuk melemahkan setiap jengkal pondasi bangsa agar rapuh dan lebih mudah untuk di kuasai asing.
Sampai saat ini kesadaran bangsa kita akan bahaya laten peninggalan kolonialis yakni "Devide at Impera" makin rendah kita tidak bisa berbuat banyak karena kita mirip manusia- manusia dalam genggaman raksasa.
Sebenarnya sangat dibutuhkan political will dari semua elemen bangsa untuk bersatu dan hal itu akan sangat sulit dilakukan ketika keadilan tidak di tegakkan.
Sistem yang dibuat sedemikian rupa telah menjadikan kita semua terkotak-kotak dalam sangkar raksasa, masyarakat kita pun telah terbius dan mudah sekali menelan setiap opini dan inilah yang disebut koraban pembodohan, sudah hampir lengkap penderitaan bangsa ini, Indonesia butuh pencerahan, Indonesia rindu persatuan dan kesatuan, Indonesia rindu kebersamaan, untuk itu kita sebagai kader-kader bangsa harus kembali merajut semua harapan itu, baik sebagai militer, aktivist, polisi dan juga masyarakat harus sadar dan jangan terlena dengan perlakuan-perlakuan istimewa yang pada akhirnya menyulit ketidak adilan. sebagai masyarakat mari membuka mata bahwa kader-kader bangsa adalah asset termahal yang kita miliki saat ini, apapu baik dan buruknya ia adalah keluarga besar kita hidarkan opini-opini yang mendiskreditkan setiap komponen bangsa dan cermati setiap judul pemberitaaan ( mengapa mereka menulis judul seperti itu..ada apa di balik sebuah judul) sehingga kita akan berfikir objektif. salam perjuangan.
Posting Komentar